Jumat, 25 November 2011

community-based preparedness


Disaster preparedness steps, do things is as follows:
1. prepare a disaster preparedness bag
2. Prepare a first aid box and medicines
3. learn first aid
4. record / save important phone numbers
5. agree on evacuation routes at home and in our village
6. know the evacuation routes

In the event of disaster and emergency response do is:
1. Immediately to a safe place. If the hurricane immediately went into the house
2. Standby carry bag that has been prepared
3. do not panic
4. Follow the evacuation routes to safety
5. Give first aid for disaster victims
6. Follow directions from the authorities in handling disasters

Kamis, 10 November 2011

Langkah-langkah Kesiapsiagaan Bencana di Rumah Tangga

Langkah-langkah Kesiapsiagaan Bencana di Rumah Tangga


Selama ini, tindakan dalam usaha kesiapsiagaan bencana dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya kemudian dilakukan bersama antara pemerintah daerah dengan organisasi-organisasi yang terkait dan masyarakat yang tertimpa bencana. Pada saat menghadapi bencana, masyarakat yang belum mampu untuk menanganinya sendiri harus menunggu bantuan yang kadang-kadang tidak segera datang.
Perlu disadari bahwa detik-detik pertama saat bencana terjadi adalah saat yang sangat penting dalam usaha mengurangi dampak bencana yang lebih besar.
Masyarakat yang menghadapi bencana adalah yang menjadi korban dan yang harus menghadapi kondisi akibat bencana. Oleh karena itu, masyarakat perlu membuat perencanaan sebagai upaya dalam pencegahan dan kesiapsiagaan bencana

Mengurangi Kemungkinan/Dampak
Dalam upaya mengurangi dampak bencana di suatu wilayah, tindakan pencegahan dan kesiapsiagaan perlu dilakukan oleh masyarakatnya. Pada saat bencana terjadi, korban jiwa dan kerusakan yang timbul umumnya disebabkan oleh kurangnya kesiapsiagaan dan sistem peringatan dini. Persiapan yang baik akan bisa membantu masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat guna dan tepat waktu. Bencana bisa menyebabkan kerusakan fasilitas umum, harta benda dan korban jiwa. Dengan mengetahui langkah-langkah kesiapsiagaan masyarakat bisa mengurangi resiko/dampak bencana.

Menjalin Kerjasama
Kesiapsiagaan bencana hendaknya menjadi tanggungjawab bersama antara masyarakat dan pemerintah serta pihak pihak terkait. Kerjasama ini sangat penting untuk memperlancar proses penanggulangan bencana

Tindakan kesiapsiagaan
Merencanakan kesiapsiagaan terhadap bencana tidak hanya mencakup perencanaan fisik bangunan belaka. Setiap orang dalam rumah sebaiknya tahu apa yang harus dilakukan dan ke mana harus pergi bila situasi darurat terjadi.

Yang  dilakukan dari sekarang :
Kenali ciri-ciri gempa berpotensi tsunami
1.  Gempa terasa sangat kuat (> 7 SR ) sehingga manusia tidak bisa berdiri seimbang
2.   Berlangsung terus-menerus selama satu (1) menit atau lebih
3.   Struktur bangunan (tiang dan kolom) rusaka atau roboh

Kenali daerah aman di sekitar tempat tinggal atau tempat beraktifitas.Untuk ancaman tsunami : 3 km dari pinggir pantai atau 10 m dari permukaan laut (bisa berupa perbukitan/daerah ketinggian atau gedung-gedung yang masih kokoh setelah gempa dalam radius 500m lebih dari pantai)

Langkah kesiapsiagaan di Rumah Tangga
Rencana kesiapsiagaan rumah tangga dibuat sederhana sehingga mudah diingat oleh seluruh anggota keluarga. Bencana adalah situasi yang sangat mencekam sehingga mudah mencetus kebingungan. Rencana darurat yang baik hanya berisi beberapa rincian saja yang mudah dilaksanakan

Adapun langkah-langkahnya Sebagai berikut :
A. Siapkan Tas Siaga
Siapkan selalu Tas Siaga untuk masing-masing anggota keluarga yang sudah diisi dan selalu di cek setiap waktu.  Tas Siaga Berisi: baju secukupnya, makanan & minuman secukupnya, benda berharga, dokumen penting, obat-obatan, keperluan bayi apabila dibutuhkan, senter, radio dan barang-barang lainnya yang diperlukan)
B. Siapkan Kotak Pertolongan Pertama (PP) yang berisi Obat-obatan, Antiseptik, perban, plester, oralit dll
C. Mempelajari ilmu pertolongan pertama
D. Mendengarkan informasi bencana dan cuaca dari media massa (Radio, TV, dll)
E. Mencatat nomor telepon penting; meliputi no Telp: Rumah Sakit, Puskesmas, BMKG, TNI,Polri, PMI , Pemadam Kebakaran, Badan Penanggulangan Bencana Daerah dll
F. Mendiskusikan jalur evakuasi dan titik pertemuan keluarga
G. Menyepakati bunyi peringatan dini bersama masyarakat
H. Menyepakati Jalur evakuasi desa bersama masyarakat

Ada ramalan atau tidak tentang gempa atau tsunami, kita harus Siapsiaga dan tawakal. Tanpa adanya ramalanpun seharusnya pemerintah dan masyarakat telah mulai memahami cara mengantisipasi terjadinya bencana karena kita tinggal di wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia dan berdekatan dengan sumber gempa atau sumber-sumber bencana lainnya. Selagi alam berubah, apapun bisa terjadi. Akan terus resah atau akan siaga, pilihannya ada pada diri kita masing-masing...

Tetap Waspada dan Siaga..Bersama untuk Kemanusiaa

Selasa, 18 Oktober 2011

BUDAYAKAN CINTA LINGKUNGAN HIDUP DI SEKOLAH DAN SEKOLAH SIAGA BENCANA

Mengapa bencana demi bencana terus terjadi? Bukankah negeri ini sudah memiliki perangkat hukum yang jelas mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup? Bukankah Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional telah membangun kesepakatan bersama tentang pendidikan lingkungan hidup? Namun, mengapa korban-korban masih terus berjatuhan akibat rusaknya lingkungan yang sudah berada pada titik nadir? Siapa yang mesti bertanggung jawab ketika bumi ini tidak lagi bersikap ramah terhadap penghuninya? Siapa yang harus disalahkan ketika bencana dan musibah datang beruntun menelan korban orang-orang tak berdosa?

Saat ini agaknya (nyaris) tidak ada lagi tanah di Indonesia yang nyaman bagi tanaman untuk tumbuh dengan subur dan lebat. Mulai pelosok-pelosok dusun hingga perkotaan hanya menyisakan celah-celah tanah kerontang yang gersang, tandus, dan garang. Di pelosok-pelosok dusun, berhektar-hektar hutan telah gundul, terbakar, dan terbabat habis sehingga tak ada tempat lagi untuk resapan air. Satwa liar pun telah kehilangan habitatnya. Sementara itu, di perkotaan telah tumbuh cerobong-cerobong asap yang ditanam kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Polusi tanah, air, dan udara benar-benar telah mengepung masyarakat perkotaan sehingga tak ada tempat lagi untuk bisa bernapas dengan bebas dan leluasa. Limbah rumah tangga dan industri makin memperparah kondisi tanah dan air di daerah perkotaan sehingga menjadi sarang yang nyaman bagi berbagai jenis penyakit yang bisa mengancam keselamatan manusia di sekitarnya.
Sebenarnya kita bisa banyak belajar dari kearifan lokal nenek moyang kita tentang bagaimana cara memperlakukan lingkungan dengan baik dan bersahabat. Meski secara teoretis mereka buta pengetahuan, tetapi di tingkat praksis mereka mampu membaca tanda-tanda dan gejala alam melalui kepekaan intuitifnya. Masyarakat Papua, misalnya, memiliki budaya dan adat istiadat lokal yang lebih mengedepankan keharmonisan dengan alam. Mereka pantang melakukan perusakan terhadap alam karena dinilai bisa menjadi ancaman besar bagi budaya mereka. Alam bukan hanya sumber kehidupan, melainkan juga sahabat dan guru yang telah mengajarkan banyak hal bagi mereka. Dari alam mereka menemukan falsafah hidup, membangun religiositas dan pola hidup seperti yang mereka anut hingga kini. Memanfaatkan alam tanpa mempertimbangkan eksistensi budaya setempat tidak beda dengan penjajahan. Namun, sejak kedatangan PT Freeport Indonesia, keharmonisan hubungan masyarakat Papua dengan alam jadi berubah. Saya kira masih banyak contoh kearifan lokal di daerah lain yang sarat dengan pesan-pesan moral bagaimana memperlakukan lingkungan dengan baik.

Namun, berbagai peristiwa tragis akibat parahnya kerusakan lingkungan sudah telanjur terjadi. “Membangun tanpa merusak lingkungan” yang dulu pernah gencar digembar-gemborkan pun hanya slogan belaka. Realisasinya, atas nama pembangunan, penggusuran lahan dan pembabatan hutan terus berlangsung. Sementara itu, hukum pun makin tak berdaya menghadapi para “bromocorah” lingkungan hidup yang nyata-nyata telah menyengsarakan jutaan umat manusia. Para investor yang nyata-nyata telah membutakan mata dan tidak menghargai kearifan lokal masyarakat setempat justru dianggap sebagai “pahlawan” lantaran telah mampu mendongkrak devisa negara dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa.

Meskipun demikian, hanya mencari “kambing hitam” siapa yang bersalah dan siapa yang mesti bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan hidup bukanlah cara yang arif dan bijak. Lingkungan hidup merupakan persoalan kolektif yang membutuhkan partisipasi semua komponen bangsa untuk mengurus dan mengelolanya. Pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), semua warga masyarakat, dan komponen bangsa yang lain harus memiliki “kemauan politik” untuk bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan hidup dari ulah tangan jahil para preman dan penjahat lingkungan. Hal itu harus dibarengi dengan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup yang nyata-nyata telah terbukti menyengsarakan banyak umat manusia. Pedang hukum harus benar-benar mampu memancung dan memenggal kepala para penjahat lingkungan hidup untuk memberikan efek jera dan sekaligus memberikan pelajaran bagi yang lain.
Yang tidak kalah penting, harus ada upaya serius untuk membudayakan cinta lingkungan hidup melalui dunia pendidikan. Institusi pendidikan, menurut hemat saya, harus menjadi benteng yang tangguh untuk menginternalisasi dan menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup kepada anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat perlu terus digali dan dikembangkan secara kontekstual untuk selanjutnya disemaikan ke dalam dunia pendidikan melalui proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pola dan gaya penyajiannya pun tidak bercorak teoretis dan dogmatis seperti orang berkhotbah, tetapi harus lebih interaktif dan dialogis dengan mengajak siswa didik untuk berdiskusi dan bercurah pikir melalui topik-topik lingkungan hidup yang menarik dan menantang.
Lingkungan hidup yang disemaikan melalui dunia pendidikan tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi disajikan lintas mata pelajaran melalui pokok-pokok bahasan yang relevan. Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab guru Geografi atau IPA saja, misalnya, tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru mata pelajaran.
Mengapa budaya cinta lingkungan hidup ini penting dikembangkan melalui dunia pendidikan? Ya, karena jutaan anak bangsa kini tengah gencar menuntut ilmu di bangku pendidikan. Merekalah yang kelak akan menjadi penentu kebijakan mengenai penanganan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Menanamkan nilai-nilai budaya cinta lingkungan hidup kepada anak-anak bangsa melalui bangku pendidikan sama saja menyelamatkan lingkungan hidup dari kerusakan yang makin parah. Dan itu harus dimulai sekarang juga. Depdiknas yang memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan harus secepatnya “menjemput bola” agar dunia pendidikan kita mampu melahirkan generasi masa depan yang sadar lingkungan dan memiliki kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat dan bangsanya. Nah, bagaimana? ***

FAKTA INDONESA RAWAN BENCANA

Realitas Indonesia sebagai "negeri bencana" tidak dapat ditampik lagi. Fakta-fakta bencana yang menimpa hampir di seluruh wilayah Indonesia ini makin menguatkan tesis tersebut. Gempa bumi, longsor, banjir, tsunami, gunung meletus, kebakaran hutan, kekeringan, dan bencana alam lainnya selalu menjadi warna dominan dalam perikehidupan masyarakat Indonesia apalagi kita yang tinggal aceh kita bisa melihat angin kencang,panas nya yang begitu signifikan sehingga kita terasa tidak nyaman kmna.belum lagi kita liat beberapa gunung yang di perkirakan akan meletus karena pergerakan nya sudah mulai menampak kan kewaspadaan.
 Kita juga telah melihat kejadian-kejadian bencana yang melanda daerah Aceh baik ulah manusia dah penyebab alam.
Fakta bencana di Indonesia yang hampir selalu memakan korban jiwa dan harta benda yang besar menyuratkan lemahnya ikhtiar. Kelemahan ikhtiar tersebut dapat dikategorikan dalam dua hal. Pertama, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat Indonesia tentang bencana dan cara menghadapinya. Kedua, lemahnya sistem penanggulangan bencana yang disiapkan atau dibuat pemerintah.
Dan di saat ada suatu pelatihan selalu masyarakat kita yang selalu ketergantungan dengan uang ,bukan pengetahuan yang mereka pikirkan tapi berapa perdiem( uang yang di dapat dapatkan di suatu pelatihan).
Sejatinya, jauh-jauh hari ketika sadar bahwa wilayah Indonesia rentan bencana, pemerintah mesti menyiapkan langkah-langkah penanggulangan. Pemerintah harus memberikan pengetahuan dan pemahaman yang memadai terhadap warga tentang bencana sekaligus membuat program penanggulangan bencana yang terstruktur dan terukur. Namun, tidak juga terlambat jika setelah diberikan pelajaran fakta-fakta bencana, baru beranjak memikirkan upaya real meminimalisasi jatuhnya korban.
Bukan hal yang salah jika Indonesia bercermin, misalnya, pada Jepang yang dikenal sebagai negara rawan bencana. Warga Jepang dapat mengetahui dan memahami bencana sekaligus cara menghadapinya karena pemerintahnya memasukkan materi bencana dalam pembelajaran siswa di sekolah, baik melalui materi pelajaran utama maupun tambahan.
Dan bisa juga kita liat Jepang  yang sudah mempersiapkan semua nya bisa juga berjatuhan sangat di saat Tsunami beberapa waktu yang lalu,apa lagi kalau kita liat masyarakat kita yang masih kurang respon untuk mengetahui tentang penangan Bencana,
Dalam konteks Indonesia, realitas penanggulangan bencana sejak dini di Jepang dapat menjadi inspirasi untuk menebarkan ikhtiar meminimalisasi akibat bencana. Tidak berlebihan juga, jika bencana dijadikan materi pelajaran bagi siswa atau perkuliahan bagi mahasiswa. Materi menghadapi bencana bisa menjadi salah satu basis kurikulum pelajaran di Indonesia, baik di bangku sekolah dasar, menengah, maupun di perguruan tinggi.
Secara teoretis, disertasi saya di Universitas Pendidikan Indonesia (2007), menemukan bahwa pengembangan kurikulum yang baik di antaranya adalah kurikulum yang berbasis lingkungan dengan mempertimbangkan analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan dilakukan dengan mengkaji kompetensi yang dibutuhkan atau cenderung dibutuhkan di lapangan.
Sangat tepat jika di Indonesia dibuat kurikulum berbasis bencana. Tentu materi bencana dalam kurikulum disesuaikan dengan tingkat kerawanan bencana di daerah masing-masing, misalnya, warga yang tinggal di partai diberikan pengetahuan, pemahaman, dan teknik menghadapi tsunami, warga di daerah pegunungan diberikan materi gunung meletus dan longsor, dan seterusnya.
Praktiknya di sekolah, materi bencana dapat disebar dengan berbagai alternatif, bisa menjadi salah satu mata pelajaran atau merupakan bagian dari mata pelajaran yang lain, misalnya, menjadi pendamping utama materi bacaan dalam pelajaran bahasa Indonesia, IPS, IPA, atau pelajaran lainnya. Bahkan, dalam konteks praktik menghadapi bencana, bisa saja menjadi bagian dari pelajaran pendidikan jasmani atau masuk pada kegiatan ekstrakurikuler siswa, misalnya, dalam bentuk simulasi menghadapi bencana.
Di perguruan tinggi pun hal yang sama harus dilakukan. Mahasiswa harus dibekali pola-pola penanganan bencana yang memuat materi bagaimana menjadi sukarelawan yang siap membantu korban-korban bencana, baik bantuan materi maupun bantuan langsung menjadi sukarelawan di lapangan. Hal itu berangkat dari realitas, selama ini mahasiswa banyak berkontribusi ikut membantu korban bencana, baik berupa upaya menghimpun dana bantuan maupun langsung menjadi anggota tim SAR di lapangan. Namun, kontribusi mahasiswa belum terpola secara sistematis sehingga diperlukan pembenahan peran mahasiswa dalam penanggulangan bencana. Konsepnya sangat sederhana, tetapi jika masuk pada kurikulum pembelajaran siswa atau perkuliahan mahasiswa harus memiliki arah standar kompetensi yang jelas.
Evaluasi harus dilakukan sampai tingkat implementasi kurikulum. Evaluasi pada dasarnya bertujuan mengetahui kelemahan, kekurangan, dan hambatan yang dihadapi. Evaluasi kurikulum lebih bersifat luas karena cakupannya meliputi evaluasi proses pelaksanaan kurikulum, proses dan hasil belajar, faktor-faktor pendukung seperti guru/dosen, sarana dan fasilitas pembelajaran, media dan sumber belajar, metode belajar serta desain kurikulum.
Kelemahan, kekurangan, dan hambatan-hambatan yang ditemukan dari hasil evaluasi tidak hanya menjadi catatan penilaian prestasi belajar siswa/mahasiswa, tetapi juga harus langsung dilakukan solusi perbaikan sampai evaluasi mencapai titik angka sangat memuaskan. Artinya, hasil evaluasi harus menunjukkan bahwa siswa/mahasiswa sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan bencana apa pun yang terjadi di lingkungan mereka. Insya Allah, jika seluruh elemen masyarakat, dari usia pendidikan dasar sampai perguruan tinggi mengetahui, memahami, dan memiliki kesiapan untuk menghadapi bencana apa pun, tingkat kerugian bencana yang selama ini menjadi bagian dari penderitaan warga akan terminimalisasi.
Maka dari itu mari kita pekerja Kemanusian  selalu mengajak masyarakat untuk selalu siap siaga,dan selalu memberikan pelatihan-pelatihan yang tentang Pengurangan Resiko Bencana Berbasis masyarakat ,walau pun kita ketahui masyarakat kita masih tergantung dengan uang,tapi yakin lah hati masyarakat kita pasti akan lunak.
Saya masih ingat dengan kata pepatah “batu yang keras saja bisa terbentuk seperti tetes hujan apa lagi hati manusia yang begitu lunak “.
Ayo kawan-kawan yang masih peduli terhadap sesama tanpa mengharap imbalan,bravo untuk pekerja kemanusian terutama buat para Relawan Sejati yang selalu setiap menjalankan tugas nya....SALAM KEMANUSIAAN